Budaya orang Indonesia adalah budaya bertutur, bukan budaya baca-tulis. Aku tidak tahu darimana datangnya sebait kalimat ini, tapi jika dilihat-lihat pernyataan tersebut dan dikaitkan dengan realita yang aku temui dalam kehidupan sehari-hari memang ada benarnya. Jika kita jalan kaki menyusuri kampung kota atau pemukiman warga, akan sering kita temukan sekelompok orang yang sangat kuat ngobrol ngalor-ngidul selama berjam-jam dari pagi hingga petang. Tema obrolan yang dibicarakan juga beragam. Mulai dari politik, ekonomi, hingga permasalahan rumah tangga. Hal tersebut menjadi wajar mengingat budaya orang Indonesia yang gemar sekali bertutur dan berkumpul bersama.

Saat aku duduk di bangku pendidikan arsitektur, hal paling pertama dan mendasar yang aku pelajari dalam ilmu filsafat arsitektur adalah filsafat arsitektur barat yang dikenal dengan trias arsitektur Vitruvius. Trias arsitektur itu terdiri dari venustas (keindahan), firmitas (kekuatan) dan utilitas (fungsi). Sebuah benda atau bangunan baru valid dikatakan sebagai karya arsitektur apabila memiliki ketiga unsur tersebut. Saat aku berada di semester 4 perkuliahan di jurusan arsitektur aku bertanya pada diriku sendiri kenapa pendidikan arsitektur di sekolah kita malah mempelajari filsafat arsitektur barat sementara arsitektur nusantara kita juga kaya akan kedalaman-kedalaman filsafat. Aku tidak mengatakan bahwa keilmuan yang datang dari negeri barat itu jelek, tapi aku kira kita secara implisit kita sedang melupakan darimana sebetulnya kita semua berakar. Lantas, kemana perginya arsip keilmuan arsitektur kita yang sebetulnya sangat kaya secara filsafat dan teknik ketukangan?

Pertanyaan dan kontemplasi ini berujung pada sebuah asumsi bahwa masyarakat kita memang lebih dekat dengan budaya bertutur ketimbang budaya baca-tulis. Sehingga, keilmuan-keilmuan itu (bukan hanya ilmu arsitektur) diwariskan dengan cara didongengkan, bukan ditulis dan dibaca  kembali oleh generasi selanjutnya. Termasuk dalam keilmuan arsitektur. Sehingga, menjadi tugas berat bagi para peneliti untuk menulis dan mengumpulkan kembali arsip-arsip keilmuan arsitektur yang tersebar di berbagai penjuru hingga pelosok negeri.

Karena keilmuan yang kita miliki ini lebih sering didongengkan dari generasi ke generasi, bukan ditulis sehingga sangat rentan terjadi pengurangan atau penambahan informasi. Karena kemampuan dan pemahaman orang terhadap keilmuan bisa sangat variatif. Sehingga menjadi sulit untuk menemukan dasar keilmuannya yang masih sangat otentik. Gagal baca dapat menyebabkan gagal paham. Lebih jauh lagi, gagal paham dapat mengakibatkan lebih banyak lagi persoalan.