Kali ini aku ingin bertulis tentang kritik arsitektur. Karena membangun dan menyusun argumen untuk kritik kondisi sosial budaya itu sangat melelahkan. Hal yang paling membuat lelah sebetulnya bukan proses pembangunan argumen dan pencarian sumber ilmiah serta mencari relevansinya, tapi karena luapan kekesalan dan emosi yang menumpuk ketika aku menuliskan baris demi baris keresahan tentang kondisi dan persoalan-persoalan sosial budaya di negeri ini.

Pada akhir tahun 2017, aku harus melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata di salah satu desa di Kabupaten Garut. Program Kuliah Kerja Nyata ini merupakan mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa di kampusku yang secara normal bisa diambil pada semester 5 atau semester 6. Pada dasarnya, mahasiswa diminta  untuk menjalankan serangkaian program yang direncanakan oleh Pemerintah Pusat di desa-desa yang dianggap membutuhkan. Programnya beragam, untuk kasusku tema besar yang diangkat adalah Revolusi Mental. Program yang gak jelas indikator capaiannya, gak jelas pula rincian kegiatan dan pelaksanaannya. Pada dasarnya, kami diminta untuk mengajari anak-anak PAUD tentang berbagai macam hal di salah satu desa di Garut. Memang apa susahnya jika programnya dilabeli Pendidikan PAUD? Apa karena Revolusi Mental tampak lebih keren dan sensasional untuk takaran politisi? Meskipun, memang sejak awal tidak jelas ukuran keberhasilannya apa. Jika hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban untuk laporan pertanggungjawaban, sungguh kesia-siaan yang mubadzir.

Ah, Sudahlah.

Jarak dari Kota Bandung menuju Kabupaten Garut adalah sekitar 3 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Menjelang penutupan semester ganjil, mahasiswa-mahasiswa yang mengontrak mata kuliah KKN dilepaskan secara seremonial oleh pihak kampus ke daerah KKN masing-masing. Saat itu, karena aku masih ada urusan yang perlu diselesaikan di kampus, aku berangkat ke Garut terpisah dari rombongan kelompok yang lain sehingga aku pergi ke lokasi KKN seorang diri dengan menggunakan sepeda motor. Saat di perjalanan, ketika aku tiba di sekitar pusat Kabupaten Garut aku melihat ada 1 bangunan yang bentuknya sangat menarik perhatianku. Menarik perhatian bukan karena indah dan molek menyilaukan, tapi karena jelek dan kontras menjauh dari prinsip-prinsip estetika arsitektur yang waras. Bangunan ini seperti dagelan dalam karya arsitektur.

Image result for GOR Ciateul Garut
(Sumber Gambar: https://fokusjabar.co.id/2017/06/13/pembangunan-gor-ciateul-jadi-temuan-bpk-hmi-garut-minta-polisi-lakukan-penyelidikan/)

Dari luar, bentuk massa bangunan tersebut terlihat seperti pabrik besi dan baja yang baru selesai dibangun dengan cat kuning mengkilapnya yang begitu kontras dengan lingkungan sekitar. Tanpa pintu yang mencirikan bahwa ini adalah bangunan publik, tanpa jendela-jendela besar, tanpa rooster-rooster cantik, sangat minim elemen dekorasi. Bangunan tersebut berdiri kokoh dan tampak begitu masif lagi solid, dengan egoisnya berdiri di tengah-tengah hamparan sawah tanpa intervensi ruang lansekap yang jelas. Garis-garis kolom dan balok struktur yang dibuat dengan prinsip logika grid secara konsisten bergerak memanjang dan tampak menonjol dari dinding-dinding menghasilkan ruang dalam bangunan yang fungsinya tak bisa ditebak.  Hal ini membuat orang semakin sulit untuk mempersepsikan bangunan apa ini sebenarnya. Bahkan semakin sulit lagi untuk dipersepsikan karena bentuk atap si kuning ini menyerupai bentuk atap rumah adat Sunda hanya saja penutup atapnya yang disubstitusi menggunakan material zinc alum, yang menurutku secara implisit semakin menegaskan bahwa ini adalah memang bangunan pabrik. Tapi, bukankah terlalu naif untuk sebuah bangunan pabrik besi jika ia menggunakan bentuk atap rumah adat Sunda? Selain itu, apa urgensinya bagi sebuah pabrik untuk mereflesikan nilai-nilai budaya atau kearifan lokal? Ketika aku mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Katakanlah, seandainya ini adalah memang bangunan dengan unsur budaya, apapun fungsinya sehingga sang perancang memutuskan untuk memasukkan unsur budaya Sunda. Meskipun, menurutku unsur budaya yang diaplikasikan pada bangunan ini adalah aspek yang paling dangkal untuk digunakan yaitu bentuk atap. Tapi, dilihat dari sisi manapun aku tidak menyangkal bahwa bangunan ini buatku tetap terlihat seperti pabrik. Barangkali memang aku yang masih minim referensi dan masih kurang banyak membaca. Ketika aku memperhatikan bangunan ini selama beberapa detik, aku berhenti sejenak dari mengendarai sepeda motorku. Aku menghela nafas. Aku takjub dengan keberhasilan bangunan ini menciptakan produk arsitektur yang sangat sulit dipahami dengan akal sehat. Paradoks yang tidak setengah-stengah.

Setelah aku mencari informasi di Google, bangunan tersebut ternyata berfungsi sebagai gedung olahraga. Lebih tepatnya, bangunan tersebut bernama Gedung Olahraga Ciateul. Saat aku mencari informasi terkait bangunan ini, aku mendapati bahwa bangunan ini ternyata sempat bermasalah dalam proses pembangunannya karena ada dugaan tindak pidana korupsi. Aku tidak mau berkomentar terlalu jauh soal dugaan tindak pidana korupsi selama proses pembangunan gedung olahraga ini, karena artikel yang kutulis kali ini bukan untuk membahas itu. Meskipun, sebetulnya menjadi masuk akal jika ternyata pada praktiknya gedung ini dikorupsi karena hasilnya bisa jadi sejelek ini. Menurut hematku, bangunan ini mungkin pada praktiknya bisa berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sarana olarga, tapi dalam proses pembeangunan “Wastu Citra” (yang dirumuskan oleh mendiang Mangunwijaya) dan sebagai salah satu pengenal kemuliaan bahasa arsitektur, bangunan ini merupakan kegagalan. Keindahan bahasa arsitektur terletak pada kejujuran dan kewajarannya dalam menerapkan prinsip-prinsip desain seperti keseimbangan, kesatuan, ritme, kontras dan proporsi. Thomas dari Aquinas  pernah menasihatkan “Pulchrum splendor est veritatis (keindahan adalah pancaran kebenaran)”. Jika sesuatu terlihat indah dan wajar, maka harusnya ia benar. Paradigma ini melawan paradigma arsitektur modern bernafaskan minimalism yang cenderung mengagung-agungkan fungsionalitas, tapi konsep ini justru melihat bahwa fungsionalitas dan keindahan adalah satu kesatuan utuh yang saling berkaitan.

Gedung Olahraga Ciateul bukan satu-satunya arsitektur yang gagal mengimplementasikan filosofi kewastu citraan Romo Mangun. Aku seringkali menjumpai arsitektur-arsitektur (khususnya di daerah yang jauh dari kota) yang menurut hematku terlalu mudah mengambil kesimpulan dan cenderung menggampangkan filsafat-filsafat arsitektur. Arsitektur seringkali hanya dilihat sebatas bangunan individual yang seolah-olah bisa berdiri sendiri, tanpa melihat konteks dan ketergantungannya dengan arsitektur-arsitektur lain di sekitarnya. Pemaknaan terhadap arsitektur yang dangkal ini, yang menurutku menjadi penyebab banyaknya arsitektur-arsitektur latah yang hanya mengambil bentuk atap dan memfotokopi bentuk bangunan, tanpa mengetahui dan memaknai lebih dalam ada makna dan tujuan apa dibalik itu semua. Lebih jauh lagi, tanpa melakukan upaya penyesuaian dengan konteks dan isu arsitektur kekinian, yang semakin terfabrikasi dan cenderung bergerak meninggalkan unsur-unsur kebudayaan daerah yang sebetulnya bisa lebih holistik. Pelestarian hanya dimaknai sebatas upaya melestarikan dan memfotokopi bentuk bangunan. Tidak salah namun tidak kontekstual. Mengutip dari buku Wastu Citra, semua ini  sebetulnya sangat berkaitan dengan citra dari sebuah arsitektur. Adapun yang dimaksud dengan citra sebetulnya menunjukan suatu gambaran atau image, suatu kesan penghayatan yang menangkap arti bagi seseorang yang melihatnya.

Screenshot_128
Sumber Gambar: https://koranseruya.com/di-gedung-ini-prof-andalan-akan-berkantor-di-palopo.html

Contoh gambar di atas adalah gedung kantor Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Contoh konkrit dari praktik arsitektur yang minder. Aku paham bahwa kita pernah dijajah cukup lama oleh bangsa Belanda sehingga sedikit banyak memang produk budaya kita terpengaruh oleh budaya Belanda. Akan tetapi apakah itu artinya arsitektur kita juga harus terus menerus terjajah gaya Belanda dan Eropa yang sudah jelas sangat berbeda konteks dan persoalannya? Padahal bangsa ini sudah menyatakan diri merdeka sejak lebih dari 70 tahun yang lalu. Tapi arsitektur minder seperti ini masih sering aku temui di banyak daerah. Sudah minder, masih salah juga dalam implementasi arsitektur ala Yunani keEropa-an karena bentuk kolom-kolom utama pada muka bangunan ini tidak satupun yang mengambil bentuk kolom doric, ionic, ataupun corinthian. Tidak ada pediment, frieze ataupun entablature pada bangunan yang seolah-olah ingin menjadi bangunan bergaya Eropa Klasikal yang berkembang pada tahun 500 – 300 B.C., tapi lagi-lagi pemaknaan yang terlalu dangkal bahkan gagal sekadar untuk memaknai kaidah-kaidah dasarnya. Arsitektur yang minder dan naif.

Aku tidak mengatakan bahwa Vitruvius jelek dengan rumus trias arsitekturnya. Aku juga tidak mengatakan bahwa Kuil Parthenon di Yunani yang menjadi bagian dari awal mula sejarah peradaban arsitektur Eropa adalah produk arsitektur yang gagal. Semua arsitektur, bagus dengan caranya masing-masing. Arsitek dari Studio Akanoma, Yu Sing memiliki analogi yang menarik tentang cara memaknai arsitektur. Ia mengibaratkan bahwa arsitektur bisa dikonsumsi layaknya seperti makanan. Ketika kita berkunjung ke suatu daerah tertentu, tentu kita ingin menyicipi aneka kuliner khas daerah tersebut. Kita ingin mengalami keunikan olah rasa dan olah citranya yang sangat beragam di setiap daerah. Logika yang sama sebetulnya bisa diterapkan juga pada karya arsitektur. Apabila semua karya arsitektur dirancang dan dibangun dengan menggunakan landasan tadi, maka sebetulnya kita bisa membangun kota-kota dan peradaban yang unik dan berkarakter di setiap wilayahnya. Suatu kota bukan lagi menjadi komplek tower tipikal yang menjenuhkan.

Arsitek Peter Eisenman pernah mewariskan 6 wasiat penting di acara Kongres UIA pada bulan Juli 2008 lalu. Meskipun sudah 12 tahun yang lalu, tapi menurutku wasiat ini masih sangat relevan khususnya apabila dikaitkan dengan kondisi diskursus arsitektur di Indonesia, yang mana segala hal yang terjadi di Indonesia biasanya selalu terlambat 10 tahun. 2 dari 6 wasiat yang disampaikan Eisenman merupakan cambuk bagi mahasiswa, akademisi, peneliti dan praktisi di bidang arsitektur untuk terus menghidupkan budaya kritik berarsitektur. 2 dari wasiat itu diantaranya adalah sebagai berikut yang aku kutip dari tulisan miliki Ridwan Kamil. (selengkapnya, bisa dibaca di sini : https://ridwankamil.wordpress.com/2008/09/27/6-wasiat-eisenman/)

Pertama. Eisenman mengingatkan bahwa saat ini dunia sedang berada dalam krisis diskursus arsitektur. “Kita berada di dekade yang tidak menawarkan nilai baru,” ujarnya. Yang ada hanya “lateness” atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara periodik tahunan, bulanan atau bahkan mingguan. Menurutnya tidak ada kegairahan perdebatan arsitektur dunia seperti ketika arsitektur modern bergeser ke Postmodern.

Kedua. Peter Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur. Segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia. Dan Dubai tidak memilikinya.

Arsitektur hanya dilihat sebagai bangunan individualis. Arsitektur menjadi terindustrialisasi. Dalam beberapa kasus bukan lagi menjadi kebutuhan. Dibangun karena desakan ekonomi pembangunan, tanpa mengindahkan pertimbangan-pertimbangan jangka panjang dan dampaknya bagi kehidupan mendatang. Bahkan seringkali bertransformasi menjadi objek foto untuk mendapatkan engagement. Sehingga, membangun tampaknya bukan lagi menjadi perkara menyejahterakan.  Mengutip kata-kata Pak Ahmad Djuhara (Ketua organisasi Ikatan Arsitek Indonesia) Arsitektur adalah ruang di dalam bangunan, ruang di luar bangunan, dan ruang di antara bangunan. Mustinya ruang hidup harus dirancang dengan lebih holistik. Secara lebih menyeluruh melibatkan aspek tangible dan intangible. Sehingga, dengan begitu arsitektur yang hadir mengisi ruang-ruang kehidupan manusia, bukan lagi menjadi refleksi ego dan kapitalisme kroni, tapi secara lebih menyeluruh berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan lebih banyak manusia. Karena apabila kita tetap terbiasa dengan pola menggampangkan arsitektur, produk arsitektur yang muncul adalah lagi-lagi arsitektur latah yang terus berkutat di bentuk-bentuk dan romantisme masa lalu, tanpa dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan konteks kekinian yang relevan.