Pendidikan adalah salah satu aspek paling fundamental untuk membangun bangsa yang beradab serta berbudi pekerti luhur. Peran vital pendidikan dalam upaya mencerdaskan dan memajukan bangsa bahkan tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia pada alinea ke 4. Pendidikan adalah kunci dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas. Namun, performa pendidikan di Indonesia masih belum memuaskan. Dibutuhkan sebuah strategi kontekstual yang bisa merespon tantangan di era Revolusi Industri 4.0 yang sangat bergantung pada pemanfaatan teknologi internet. Bagaimana gagasan mengenai Konsep Pendidikan 4.0 berbasis teknologi internet bisa menjadi solusi untuk mengakselerasi pendidikan di Indonesia?

Menurut data yang dikutip dari situs Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Indonesia memiliki jumlah siswa sebanyak 45.310.572 orang yang tersebar di 220.011 sekolah. Apabila ditinjau dari sektor tenaga pengajar, Indonesia memiliki total 2.726.797 guru dan 3.225 dosen. Akan tetapi, dengan potensi jumlah kuantitas pelajar di Indonesia yang cukup banyak, infrastruktur pendidikan yang sudah dibangun, dan jumlah tenaga pendidik yang ada, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki performa pendidikan terendah di dunia.

Menurut penelitian Programme For International Student Assessment atau disingkat PISA,  performa pendidikan Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang diteliti (PISA, 2015). Penelitian ini menggunakan 6 parameter yang dibagi ke dalam 2 kategori untuk mengukur performa pendidikan di suatu negara. Kategori pertama menggunakan 3 parameter kognifitif yaitu sains, literasi, dan matematika. Skor Indonesia untuk 3 parameter tersebut hanya 1.186 dari nilai rata-rata 1.476. Aspek selanjutnya yang diukur adalah parameter afektif yang terdiri dari science beliefs, engagement, dan motivasi belajar. Indonesia memiliki tingkat kesadaran yang cukup rendah terhadap kebenaran sains dengan nilai 403 dari nilai rata-rata 493.

Lant Pritchett, Professor dari Harvard Kennedy School  pada tahun 2016 melakukan sebuah riset tentang kemampuan literasi pada orang dewasa di Jakarta yang sudah pernah menyelesaikan pendidikan tinggi.  Hasil riset Pritchett menunjukkan bahwa orang dewasa di Jakarta yang sudah pernah menyelesaikan pendidikan tinggi, memiliki kemampuan literasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa di Yunani dan Denmark yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Pengukuran kemampuan literasi ini dinilai berdasarkan skala 6 tingkatan dengan skor terendah (tingkat 1) berada di angka 176 – 226. Di Jakarta, sebanyak 32% responden memiliki skor kemampuan membaca di bawah rata rata tingkat 1, dan 37% lainnya berada di tingkat 1.

Terdapat kesamaan dari 2 riset yang sudah dilakukan oleh PISA dan Lant Pritchett. Bahwa baik orang dewasa maupun anak-anak yang ada di Indonesia, secara umum memiliki kemampuan literasi yang sangat rendah. Padahal, membaca adalah salah satu cara yang paling efektif dalam pembelajaran khususnya dalam pembangunan pendidikan. Mengapa ini bisa terjadi? Ketua Ikatan Penerbit Indonesia, Lucya Andam Dewi (2015) menyebutkan bahwa ini bisa terjadi karena minat baca yang rendah dan distribusi literasi yang sulit karena kesenjangan infrastruktur di berbagai daerah. Fakta ini juga mengakibatkan terjadinya kesenjangan pendidikan Indonesia antara daerah yang sudah maju dan daerah yang masih berkembang. Pritchett bahkan menyebutkan, bahwa Indonesia butuh waktu 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan dari Negara lain. Akselerasi dalam bidang pendidikan harus segera dilakukan. Karena jika tidak, Indonesia tidak akan mampu menciptakan SDM yang mampu bersaing di era global. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Indonesia harus melakukan pivot dalam pembangunan di bidang pendidikan. Di dalam olahraga basket, pivot adalah gerakan mengubah arah dengan tetap berpijak pada salah satu kaki. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, dengan melakukan pivot berarti Indonesia harus mengubah strategi dan metode pembangunan di bidang pendidikan, namun tetap mempertahankan visi dari pembangunan dan pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu “Terbentuknya Insan serta Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dengan Berlandaskan Gotong Royong”(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Dengan menggunakan teknologi informasi, jiwa utama Revolusi Industri 4.0, Indonesia bisa melakukan akselerasi pengembangan di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Pengaplikasian Konsep Pendidikan 4.0 yang berbasis pada Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah solusi yang relevan dengan tantangan pengembangan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0. Namun, apa sebenarnya Revolusi Industri 4.0 itu? Dan mengapa Indonesia harus bersiap menghadapi tantangan ini?

Revolusi industri, secara sederhana adalah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia memproduksi barang (Susanto, 2019). Setiap perubahan besar ini, pada masanya masing-masing selalu diikuti oleh perubahan yang besar juga dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan tidak terkecuali pendidikan. Revolusi Industri 4.0, adalah pengembangan dari Revolusi Industri 3.0, yang ditandai dengan terhubungnya perangkat komputer ke jaringan raksasa yang disebut dengan international network, atau lebih dikenal dengan istilah Internet. Internet telah membawa banyak perubahan pada berbagai lini kehidupan manusia. Dengan hadirnya internet, maka bermunculan berbagai teknologi seperti cloud computing yang memungkinkan orang mengendalikan komputer atau perangkat dari jarak jauh, hingga machine learning. Kemudian, bagaimana dunia pendidikan bisa merespon potensi dari era Revolusi Industri 4.0 ini?

Dunia sedang berubah. Keterpisahan oleh jarak dan waktu, tidak lagi menjadi masalah bagi manusia untuk mengembangkan diri karena semua individu pada dasarnya mempunyai peluang yang sama terhadap akses informasi dan pengetahuan secara umum. Kebutuhan akan gagasan Konsep Pendidikan 4.0 ini didasari oleh tantangan global karena pergeseran orientasi ekonomi dunia dari Fordist ke post-Fordist. Secara sederhana, ekonomi post-Fordist adalah sistem ekonomi yang mengedepankan sumber daya manusia sebagai asetnya. Pergeseran ini mengakibatkan perubahan dari sistem produksi massal menjadi sistem produksi yang berorientasi pada kebutuhan konsumen. Perubahan orientasi ekonomi ini menyebabkan persaingan yang luar biasa dalam merebut dan merayu talenta-talenta kreatif dari berbagai negara. Karena, pada era post-Foridst, kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan untuk mampu menciptakan karya yang unik dan berbeda dari pesaing agar mampu memenuhi kebutuhan konsumen yang beragam.

Pendidikan di Indonesia secara umum masih mengadopsi sistem pendidkan yang berorientasi pada era industri lama (era fordist) dimana anak-anak disiapkan untuk menjadi pekerja di pabrik-pabrik. Anak-anak diajarkan dan dididik untuk mematuhi peraturan dan mengikuti arahan dalam periode waktu tertentu. Keberhasilan peserta didik pada era ini sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengikuti instruksi dan melakukan sesuatu persis seperti apa yang diperintahkan. Tapi di tengah perkembangan dunia yang sangat cepat dan terbuka dengan banyak hal, apa yang bisa anak-anak capai jika mereka bekerja hanya dengan mengikuti petunjuk dan mematuhi perintah?

Hoyle menyebutkan bahwa teknologi bisa mengakselerasi peradaban manusia (Ien & Hoyle, 1953). Karena, teknologi membuat pekerjaan manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Gagasan mengenai Konsep Pendidikan 4.0 tidak hanya menggunakan ICT sebagai sarana untuk mengakselerasi pendidikan dan penyebarluasan ilmu pengetahuan, tapi secara esensial menawarkan sebuah perubahan radikal dalam sistem pendidikan. Gagasan Konsep Pendidikan 4.0 berangkat dari sebuah kesadaran bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai hak serta tanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidupnya masing-masing. Artinya, Pendidikan 4.0 menawarkan sebuah sistem otonomi dimana anak-anak diajarkan untuk menjadi dirinya sendiri dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada pada dirinya sesuai dengan minat dan bakatnya. Anak-anak tidak lagi diajarkan secara seragam dan dihargai karena mematuhi instruksi dan mendapatkan nilai tinggi ketika ujian. Tetapi, diajarkan dan dididik secara lebih eksploratif dan diapresiasi karena kreativitas dan keunikan serta bakat yang mereka miliki. Konsep Pendidikan 4.0 juga bisa menjadi solusi untuk persoalan minat baca yang rendah di Indonesia. Melalui konten audio visual yang didistribusikan lewat berbagai media di internet, ilmu pengetahuan bisa tersebar dengan lebih efektif dan lebih cepat sehingga bisa lebih mudah menjangkau berbagai kalangan khususnya anak-anak usia pelajar. Munculnya media pembelajaran online seperti aplikasi Ruang Guru, adalah contoh nyata bagaimana pengembangan pendidikan bisa diakselerasi dengan bantuan teknologi. Selain itu, Konsep Pendidikan 4.0 membuka peluang antar pelajar untuk menjalin komunikasi dan kolaborasi melalui media internet. Komunikasi dan kolaborasi adalah kemampuan yang sangat dibutuhkan di era revolusi industri 4.0, karena anak-anak dituntut untuk mampu mengkomunikasikan ide mereka secara baik dan berkolaborasi dengan berbagai elemen untuk mencapai tujuannya. Dengan bantuan teknologi, peluang dan kemampuan komunikasi—kolaborasi anak bisa dilipatgandakan.

Menurut riset yang dilakukan oleh PISA, anak-anak di Indonesia memiliki index motivasi belajar yang cukup tinggi di angka 0.65 dari nilai rata-rata 0.02 (PISA, 2015). Nilai motivasi ini berada pada peringkat kedua, di bawah Kosovo dengan nilai 0.92. Artinya, kemauan untuk belajar itu sebetulnya sudah ada pada diri anak-anak Indonesia. Maka selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan metode yang kontekstual dan menyediakan infrastruktur pendidikan yang suportif sesuai dengan Konsep Pendidikan 4.0 agar kemauan belajar yang tinggi ini bisa terfasilitasi. Kemudian, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak di Indonesia. Dengan Konsep Pendidikan 4.0 berbasis IT, Indonesia bisa melahirkan sumber daya manusia yang independen, unggul dan kompeten untuk bersaing di level global dan mengejar 128 tahun ketertinggalan di bidang pendidikan. Sehingga, putra-putri terbaik Indonesia bisa ikut serta menjadi bagian dari perkembangan dan perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik, sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

 

Daftar Rujukan :

Ien, S. E., & Hoyle, B. F. (1953). THE PLACE OF TECHNOLOGY, XVI, 11–15.

PISA. (2015). Pisa 2015.

 http://jendela.data.kemdikbud.go.id/jendela/

https://www.cgdev.org/blog/need-pivot-learning-new-data-adult-skills-indonesia?

https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150706065957-241-64531/mengapa-minat-baca-orang-indonesia-rendah

https://www.zenius.net/blog/21104/revolusi-industri-4-0

https://www.kemdikbud.go.id/main/tentang-kemdikbud/visi-dan-misi