“Great cities have always been melting pots of races and cultures. Out of the vivid and subtle interactions of which they have been the centers, there have come the newer breeds and the newer social types.” Park, Burgess, and McKenzie (1925)

Begitulah paradigma suatu peradaban kota. Karena kota yang baik selalu menjadi wadah bagi keanekaragaman dan perbedaan sebagai mesin penghasil kreativitas dan inovasi. Tempat mimpi beradu dan ambisi hidup bebas bersaing, adalah cerminan dari sebuah kota. Dalam jurnal popular Florida yang berjudul The Rise of the Creative Class, ia menyebutkan bahwa keanekaragaman dan kreativitas adalah kemudi utama dari inovasi pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.

Rumus 3T (Talenta, Teknologi dan Toleransi) yang dikemukakan oleh Florida dalam jurnalnya yang berjudul Cities and The Creative Class menerangkan kepada kita bahwa untuk menarik perhatian talenta kreatif, menghasilkan inovasi dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi, suatu kota harus menggunakan rumus 3T ini secara komprehensif.

Ia mendefinisikan Talenta sebagai alumni / lulusan perguruan tinggi, bukan istilah populer untuk seseorang yang mempunyai kemampuan khusus secara alami dari kecil; toleransi sebagai keterbukaan, inklusifitas dan keragaman etnis, ras dan pandangan hidup, atau populer juga dengan istilah kosmopolitan; dan teknologi sebagai fungsi dari inovasi dan peranan serta pengaruh dari teknologi tingkat tinggi pada suatu wilayah. Hasil penelitian Florida dalam jurnalnya mengatakan bahwa, talenta kreatfi cenderung memilih tempat kerja yang memiliki toleransi tingkat tinggi dan lingkungan sosial yang nyaman, tapi juga mengindikasikan hubungan yang kuat antara talenta, tekonolgi dan toleransi.

Kompilasi 3T ini menunjukkan, mengapa kota seperti Baltimore, St.Louis dan Pittsburgh gagal tumbuh menjadi kota kelas dunia, meskipun kota ini memiliki teknologi tingkat tinggi dan banyak institusi-institusi pendidikan berkelas dunia, akan tetapi kota ini memiliki tingkat toleransi  dan keterbukaan yang rendah terhadap talenta-talenta kreatifnya. Rumus 3T ini juga membuktikan mengapa kota seperti Miami dan New Orleans tidak mampu bersaing dengan jajaran kota kelas dunia lain meskipun dua kota ini terkenal dengan gaya hidup masyarakatnya yang modern, Florida menyebutkan dua kota ini tidak memiliki pondasi teknologi yang kuat. Boston, Washington DC, Austin, Seattle, adalah kota-kota yang dianggap berhasil menggunakan rumus 3T ini dengan baik.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Richard Florida bersama koleganya mengenai teori ekonomi kreatif, tentang bagaimana rumus 3T dapat bekerja sama untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa talenta-talenta kreatif cenderung memilih tempat yang memiliki indikator tinggi terhadap index-index keterbukaan dan keanekaragaman. Karena dewasa ini, pertumbuhan suatu daerah tidak hanya bisa dukur dari angka kelahiran yang tinggi, tapi juga dari kemampuan mereka tentang sejauh mana suatu daerah bisa memancing orang-orang dari luar untuk datang.

Para teoritis human capital menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi biasanya berbanding lurus dengan banyaknya jumlah orang-orang terdidik pada suatu wilayah. Akan tetapi, teori eknomi kreatif menyatakan bahwa perumbuhan ekonomi regional datang dari pengembangan ekonomi yang berdasarkan rumus 3T, dan untuk melahirkan inovasi dan pertumbuhan ekonomi suatu negara harus memiliki ke3nya.